PP mengetahui bahwa dia memang ditakdirkan untuk mandiri. Mandiri dalam artian selalu sendiri. Tidak seperti kawannya kebanyakan yang mudah menjalin hubungan romansa, PP sudah lama menyerah bicara soal cinta dan segala tetek bengeknya.
Tiga tahun lalu, PP bulat memutuskan hidup menjomblo. Fokus pada studi lalu menjadi kaya dengan cara membuka pottery cafe yang dirintis bersama kedua sahabatnya, Atthapan dan Thana. Awalnya sungguh tak mudah bila mengingat manusia-manusia terdekatnya ini punya kehidupan percintaan yang membuat bulu kuduk siapa saja meremang karena iri. Tapi dia bisa melewati semua rintangan yang datang melintang, tuh.
Hasilnya menyenangkan. PP tidak perlu repot-repot berkencan di akhir pekan atau pusing memikirkan alasan apa yang harus dia berikan saat terlambat membalas pesan. Yah, setahun pertama berjalan begitu hebat.
“Layaknya sebuah topi,” jelas PP jumawa saat ditanya hingga kapan rencana mogok pacaran ini akan bertahan. “Gue memilih menjadi hebat cukup dengan diri gue sendiri.” Pikirnya, sepatu yang harus berdua agar dapat berjalan maupun anting yang kehilangan kilau jika tak memiliki pasangan itu menyebalkan sekaligus menyedihkan. Kemampuannya untuk bicara jujur terus terkikis karena tergerus ekspektasi.
“Beda kepala, beda pula isinya. Lagian sekarang bukan zamannya butuh pasangan. Jadi, palu sudah diketok tok tok tok.”
Sahabat-sahabatnya hanya menggeleng pasrah. Menyuruh PP mengubah sikap skeptisnya sama halnya menyuruh anjing mengeong. Mustahil. Namun siapa yang mengira setelah tiga tahun lamanya, PP malah mengibarkan bendera putih dan mengakhiri masa lajangnya secara sukarela?
Kenapa?